Kutacane – Ketua DPD LSM Penjara Provinsi Aceh, Pajri Gegoh Selian, mengungkapkan dugaan kuat adanya praktik penyimpangan yang dilakukan oleh oknum pendamping desa di Kecamatan Lawe Sumur, Kabupaten Aceh Tenggara. Ia menyoroti penguasaan proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) yang seharusnya menjadi kewenangan perangkat desa, namun justru dikendalikan oleh pihak pendamping.
Menurut Gegoh, hasil investigasi Forum Masyarakat Desa (Formades) menunjukkan bahwa pembuatan dokumen APBDes dan SPJ di desa-desa Lawe Sumur dilakukan tidak sesuai aturan. Biaya pembuatan dokumen tersebut pun ditengarai bervariasi, mulai dari Rp10 juta hingga Rp18 juta per desa, dan diambil langsung dari Dana Desa. “Ini jelas-jelas merupakan pungutan di luar ketentuan, yang melanggar regulasi dari Kementerian Desa tentang tugas dan fungsi pendamping,” tegas Gegoh, Selasa (3/6/2025).
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa praktik ini telah berlangsung selama beberapa tahun dan telah menjadi pola sistematis. Pendamping desa yang seharusnya bertugas untuk mendampingi, justru berperan langsung dalam pengelolaan administrasi keuangan desa, bahkan terindikasi sebagai aktor utama dalam penentuan kegiatan dan belanja desa.
Selain dugaan penyalahgunaan kewenangan administratif, oknum pendamping desa juga disinyalir mendirikan dan mengoperasikan usaha bengkel las sendiri sejak akhir 2024. Usaha tersebut disebut menjadi rekanan dalam berbagai proyek desa yang membutuhkan pekerjaan besi, seperti pembangunan teratak desa dan infrastruktur lainnya.
“Oknum tersebut mendorong agar proyek-proyek yang berhubungan dengan pembesian diserahkan kepadanya. Bahkan, beberapa kepala desa tetap memberikan proyek itu ke bengkel las miliknya, yang diduga tidak memiliki izin resmi,” ujar Gegoh.
Ia menegaskan bahwa tindakan tersebut jelas melanggar Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, serta Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Tindak Pidana Korupsi. “Memanfaatkan jabatan untuk keuntungan pribadi dan memperkaya diri atau kelompok dari dana negara adalah bentuk korupsi,” tambahnya.
Gegoh menilai bahwa seharusnya pendamping desa memiliki peran untuk memastikan perencanaan, penyaluran, pemanfaatan, dan pelaporan Dana Desa berjalan secara transparan dan akuntabel. “Tugas pendamping desa bukan membuat APBDes atau SPJ, apalagi mengarahkan proyek kepada usahanya sendiri,” ujarnya.
Untuk itu, LSM Penjara mendesak Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara, khususnya Bupati dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung (DPMK), agar segera mengevaluasi dan menindaklanjuti temuan ini. “Jika terbukti, ini bukan pelanggaran etika semata, tapi juga pidana. Kami juga akan segera melaporkannya ke Aparat Penegak Hukum (APH) dan Kementerian Desa,” tutup Gegoh.
Kasus ini menambah daftar panjang dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan Dana Desa yang harus menjadi perhatian serius berbagai pihak. Masyarakat pun berharap adanya ketegasan dari pemerintah untuk mencegah agar dana pembangunan desa tidak terus-menerus menjadi ladang korupsi terselubung.
Laporan: M. Jeni | Red