Gayo Lues – Dana Desa Kute Sange tahun anggaran 2023 yang mencapai Rp773.455.000,- kini menjadi sorotan tajam publik setelah Forum Masyarakat Pembela Kebenaran (FMPK) Kabupaten Gayo Lues mengungkap dugaan ketidakjelasan dan potensi penyalahgunaan anggaran tersebut. Ketua FMPK, Syaparudin Telvi, mengecam keras manajemen anggaran yang tidak transparan dan mendesak aparat penegak hukum (APH) setempat untuk segera mengusut tuntas kasus ini.
“Kami melihat adanya kejanggalan serius dalam penggunaan Dana Desa Kute Sange. Pemerintah desa wajib mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas agar anggaran publik tidak jadi lahan korupsi,” tegas Syaparudin, Jumat (31/5).
FMPK mengingatkan bahwa aturan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Peran serta Masyarakat dalam Pencegahan Korupsi, serta UU Nomor 20 Tahun 2021 tentang Tindak Pidana Korupsi harus dijadikan pedoman ketat bagi seluruh pejabat desa. “Jangan sampai dana untuk rakyat justru dinikmati segelintir oknum,” ujarnya.
Dana Desa Kute Sange disalurkan dalam tiga tahap, dengan rincian tahap pertama sebesar Rp326.236.500, tahap kedua Rp229.036.500, dan tahap ketiga Rp208.182.000. Namun, dari hasil investigasi FMPK, sejumlah alokasi dana dinilai mencurigakan dan sangat perlu mendapat perhatian serius dari APH.
Beberapa penggunaan dana yang teridentifikasi antara lain adalah penyertaan modal desa sebesar Rp35.307.250,- dan pembangunan serta rehabilitasi sumber air bersih desa seperti mata air, tandon penampungan air hujan, dan sumur bor dengan anggaran Rp33.892.180,-. Dana untuk pemeliharaan fasilitas pengelolaan sampah seperti penampungan dan bank sampah sebesar Rp12.000.000,-, serta pemeliharaan sanitasi permukiman seperti gorong-gorong dan selokan senilai Rp23.000.000,-.
Selain itu, terdapat dana dukungan program rehabilitasi rumah tidak layak huni (RTLH) bagi keluarga kurang mampu sebesar Rp3.395.000,-, pemeliharaan sarana dan prasarana serta transportasi desa Rp2.480.000,-, dan penyelenggaraan informasi publik desa seperti pembuatan poster dan laporan pertanggungjawaban dengan alokasi Rp1.000.000,-.
Dana untuk penyelenggaraan posyandu yang mencakup makanan tambahan, kelas ibu hamil dan lansia, serta insentif kader posyandu mencapai Rp32.067.920,-. Pengembangan dan pembinaan sanggar seni dan belajar mendapatkan anggaran besar, yakni Rp85.000.000,-, sementara dukungan penyelenggaraan PAUD dialokasikan Rp9.200.000,-.
Pendidikan nonformal milik desa, termasuk honor pengajar dan operasional di PAUD, TK, TPA, TPQ, dan madrasah mendapatkan dana Rp62.163.000,-. Namun yang paling mengundang kecurigaan adalah dana keadaan mendesak yang dicairkan empat kali dengan jumlah masing-masing Rp24.300.000,- tanpa kejelasan penggunaan dan pertanggungjawaban yang transparan.
Dana pengiriman kontingen grup kesenian dan kebudayaan sebagai wakil desa di tingkat kecamatan dan kabupaten/kota tercatat Rp12.940.000,-, sementara pengadaan pos keamanan desa untuk pembangunan pos dan jadwal ronda/patroli sebesar Rp18.000.000,-. Pembinaan PKK desa mendapatkan Rp11.100.000,- dan penyelenggaraan festival serta lomba kepemudaan dan olahraga tingkat desa dialokasikan Rp50.050.000,-.
Pengiriman kontingen kepemudaan dan olahraga ke tingkat kecamatan dan kabupaten/kota menggunakan dana Rp6.200.000,-. Selain itu, peningkatan kapasitas kepala desa mendapatkan Rp30.000.000,-, sementara peningkatan produksi tanaman pangan berupa alat produksi dan pengolahan pertanian, termasuk penggilingan padi dan jagung, menghabiskan dana besar Rp152.691.000,-.
Operasional pemerintah desa dari Dana Desa sebesar Rp22.103.650,-, penyusunan dokumen keuangan desa Rp4.955.000,-, penyediaan sarana aset tetap perkantoran Rp22.800.000,-, serta operasional Badan Permusyawaratan Desa (BPD) seperti rapat dan perlengkapan lainnya Rp10.000.000,- juga tercatat sebagai bagian dari penggunaan dana.
Dana untuk penghasilan tetap dan tunjangan perangkat desa senilai Rp6.000.000,- serta kepala desa Rp12.000.000,- juga menjadi bagian dari alokasi tersebut.
Syaparudin menegaskan bahwa berbagai penggunaan dana yang tidak jelas ini berpotensi menjadi “lubang hitam” korupsi yang merugikan masyarakat desa. “Kami mendesak APH untuk bergerak cepat dan transparan dalam melakukan penyelidikan. Jangan biarkan dana desa yang harusnya membangun masyarakat, malah diselewengkan,” katanya.
FMPK juga mengingatkan bahwa keterlibatan aktif masyarakat sebagai pengawas anggaran desa adalah kunci utama dalam pencegahan korupsi. Namun, jika aparat desa dan pejabat publik terus menutup diri dan bermain mata, maka kerugian besar akan menimpa warga.
“Saat ini, kami tengah mengumpulkan bukti dan data lengkap untuk mengawal proses hukum ini. Kami mengajak warga desa untuk berani bersuara dan melaporkan penyimpangan yang mereka ketahui,” pungkasnya.
Kasus Dana Desa Kute Sange ini menjadi cermin penting bagi pengelolaan anggaran desa di seluruh Kabupaten Gayo Lues. Jika tidak ditangani dengan serius, praktik korupsi akan terus menghambat pembangunan dan memperparah kemiskinan di tengah masyarakat.