Prapat Titi Panjang, Aceh Tenggara — Senin, 2 Juni 2025 | Di balik tenangnya suasana Desa Prapat Titi Panjang, Kecamatan Babussalam, Kabupaten Aceh Tenggara, tersimpan keresahan yang sudah berlangsung cukup lama. Bau menyengat yang diduga berasal dari sebuah peternakan ayam petelur dan serangan lalat yang tak kunjung surut telah mengusik kenyamanan warga. Mereka kini tak hanya mengeluh, tetapi mulai bersuara keras: mendesak pemerintah daerah untuk menutup atau memindahkan peternakan tersebut dari kawasan pemukiman.
Peternakan ayam yang dimaksud diketahui berada di tengah-tengah permukiman padat dan menampung sekitar 3.000 ekor ayam petelur. Meski pemiliknya mengklaim telah mengantongi izin resmi, warga menyebut keberadaan kandang tersebut telah menurunkan kualitas hidup mereka. Aktivitas sehari-hari terganggu. Udara segar yang dulu jadi bagian dari kehidupan desa, kini berganti dengan aroma amonia dan kepungan lalat.
“Kami di sini bukan menolak usaha orang, tapi tolong pikirkan juga kenyamanan kami. Setiap hari kami hirup bau busuk. Lalatnya banyak sekali, masuk rumah, hinggap di makanan. Ini sudah sangat mengganggu,” ujar Zulfikar (38), salah seorang warga saat diwawancarai Tim Media lebih dari setahun. Meski beberapa kali warga menyampaikan keluhan secara lisan kepada pemilik peternakan, tak ada perubahan signifikan.
“Sampai sekarang kami belum lihat ada perubahan. Malah makin parah. Kami khawatir ini bisa berdampak ke kesehatan anak-anak dan lansia di sini,” katanya.
Keluhan senada juga datang dari Siti Halimah (45), ibu rumah tangga yang tinggal tak jauh dari lokasi kandang ayam.
“Saya pernah masak, nasi sudah di meja, tiba-tiba penuh lalat. Rasanya jijik. Mau duduk di teras pun enggak nyaman. Dulu kami bisa santai sore, sekarang lebih baik tutup pintu rapat-rapat,” ucapnya.
Di sisi lain, pemilik usaha peternakan yang ditemui Media pada Minggu, 1 Juni 2025, mengaku sudah melakukan berbagai upaya untuk menjaga kebersihan dan meminimalisir dampak lingkungan.
“Kami buang kotoran ayam dua hari sekali. Ada tiga bak penampungan limbah yang kami kuras seminggu sekali. Kami juga sudah bangun pagar tinggi untuk meredam bau dan lalat,” ujar pemilik peternakan yang enggan disebut namanya.
Ia menambahkan bahwa seluruh proses pembangunan hingga operasional peternakan telah dilakukan sesuai prosedur, termasuk mengantongi izin dari dinas terkait.
“Kami terbuka untuk dibina. Kalau ada kekurangan, kami siap perbaiki. Tapi kami juga minta keadilan sebagai pelaku usaha,” katanya.
Namun bagi sebagian warga, jawaban tersebut tidak cukup. Mereka mempertanyakan keabsahan izin dan efektivitas pengawasan dari dinas lingkungan hidup serta dinas peternakan setempat. Warga menduga bahwa lokasi usaha tersebut tidak sesuai dengan aturan tata ruang dan berpotensi melanggar standar kesehatan lingkungan.
“Ini kawasan permukiman, bukan zona industri atau pertanian intensif. Kalau izin dikeluarkan, kami ingin tahu dasarnya apa,” ucap Munawir, tokoh pemuda setempat.
Masyarakat kini berharap agar Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara melalui dinas terkait segera turun tangan. Tidak sekadar meninjau, tetapi bertindak tegas bila ditemukan pelanggaran. Warga bahkan mengancam akan melaporkan persoalan ini secara resmi ke DPRK dan aparat penegak hukum bila tidak ada penanganan dalam waktu dekat.
“Kami minta keadilan. Kami warga negara yang berhak hidup nyaman. Jangan sampai kami yang terus dikorbankan atas nama usaha,” tegas Munawir.
Hingga berita ini ditayangkan, belum ada keterangan resmi dari Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara, khususnya dari Dinas Lingkungan Hidup maupun Dinas Peternakan. Sementara keresahan warga terus meluas, dan desakan untuk menutup peternakan itu kini menguat.
Kasus ini menjadi potret dilematis antara kepentingan ekonomi dan hak atas lingkungan hidup yang sehat. Akankah pemerintah berpihak kepada suara rakyatnya, atau justru membiarkan situasi terus bergulir tanpa kepastian? (TIM)