Kutacane – Pengadilan Negeri (PN) Kutacane resmi menjalin kerjasama strategis dengan Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Aceh Tenggara untuk penyelesaian alternatif sengketa perdata dan pidana. Penandatanganan perjanjian berlangsung di Kantor PN Kutacane, Senin (26/5/2025).
Ketua MAA Aceh Tenggara, drh. H. Thalib Akbar, MSc, mengungkapkan bahwa perjanjian ini bertujuan memperkuat peran adat dalam mendukung proses hukum formal. Ia menyebut bahwa kesepakatan tersebut memberikan ruang lebih besar bagi pendekatan mediasi, diversi, serta keadilan restoratif di luar jalur litigasi.
“Surat perjanjian ditandatangani langsung oleh Ketua PN Kutacane Ade Yusuf SH MH sebagai pihak pertama, dan saya sendiri sebagai pihak kedua dari MAA,” sebut Thalib saat dikonfirmasi, Rabu (28/5/2025).
Dokumen kerjasama ini dituangkan dalam surat PN Kutacane Nomor 357/KPN.W1U16/HM2.1.1/V/2025 dan surat MAA Aceh Tenggara Nomor 224/61/MA/2025. Kedua lembaga bersepakat menguatkan kolaborasi dalam penyelesaian perkara perdata maupun pidana dengan melibatkan kearifan lokal melalui lembaga adat.
Dalam Pasal 1 perjanjian disebutkan, MAA akan dilibatkan sebagai fasilitator dan ahli dalam proses mediasi perkara perdata, terutama setelah memasuki tahap perdamaian. Sementara untuk perkara pidana, MAA dapat mengambil peran dalam proses diversi terhadap pelaku anak di bawah ancaman hukuman tujuh tahun, atau dalam perkara dengan ancaman maksimal lima tahun.
“MAA juga berperan dalam penyelesaian perkara pidana perlindungan perempuan dan anak, maupun perkara pidana lainnya yang bisa diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif dan peradilan adat,” jelas Thalib.
PN Kutacane akan menyediakan ruang dan fasilitas yang mendukung pelaksanaan proses alternatif tersebut. Putusan hasil Mahkamah Adat atau Majelis Adat yang krusial juga wajib dicatat dan diregistrasi di Pengadilan Negeri untuk memastikan legalitas formalnya.
“Peran adat tidak hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai mitra aktif dalam mewujudkan keadilan yang berpihak pada nilai-nilai kemasyarakatan. Ini juga sejalan dengan Qanun, Pergub Aceh Nomor 60 Tahun 2013, serta Peraturan Bupati Aceh Tenggara Nomor 21 Tahun 2015,” tambah Thalib.
Kerjasama ini akan berlangsung selama satu tahun dan tetap berlaku meski terjadi perubahan personel akibat rotasi atau mutasi jabatan antar institusi. Komitmen tersebut ditegaskan dalam Pasal 2 perjanjian.
“Dengan sinergi ini, kita berharap dapat memperluas akses keadilan bagi masyarakat Aceh Tenggara, khususnya di desa-desa yang masih sangat kental dengan adat-istiadat,” tutup Thalib. (*)