Jakarta – Kebebasan pers kembali diguncang. Kali ini, kegaduhan datang dari Istana sendiri. Seorang jurnalis CNN Indonesia, Diana Valencia, dicabut kartu liputannya oleh Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden hanya karena menjalankan tugas: bertanya. Dan pertanyaannya pun bukan sembarangan—ia mempertanyakan tanggung jawab negara atas keracunan massal siswa-siswa sekolah akibat program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang dipelopori Badan Gizi Nasional. Tapi alih-alih dijawab dengan transparansi dan komitmen publik, pertanyaan itu berujung pada pembungkaman.
Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) tak tinggal diam. Lewat pernyataan keras yang dikirimkan ke berbagai media hari ini, Minggu (28/09), Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, mengecam tajam tindakan represif tersebut. Ia bahkan mendesak Presiden Prabowo Subianto segera memecat Kepala BPMI Setpres—pejabat yang, menurut Lalengke, telah dengan terang-terangan melanggar prinsip dasar demokrasi.
“Ini bukan sekadar pelanggaran etika birokrasi. Ini kriminal. Mencabut izin liputan dengan alasan karena jurnalis mengajukan pertanyaan adalah pelanggaran terhadap Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pelakunya bisa dijebloskan ke penjara selama dua tahun,” tegas alumnus Lemhannas RI itu dalam pernyataannya, menyindir bahwa rezim saat ini mulai bermain dengan api zaman Orde Baru.
Insiden itu terjadi dalam sesi doorstop di Bandara Halim Perdanakusuma, saat Prabowo baru saja tiba dari lawatan luar negeri. Diana menanyakan langkah konkret Presiden terkait peningkatan kasus keracunan yang menyeret program unggulan pemerintah itu. Jawaban diplomatis pun dilontarkan oleh Prabowo, yang menyebut akan memanggil Kepala BGN Dadan Hindayana untuk evaluasi. Namun hanya berselang beberapa jam, BPMI secara sepihak dan diam-diam mencabut akses liputan wartawan tersebut.
Langkah otoriter ini langsung mendapat sorotan dari berbagai sudut. Lembaga pers seperti AJI, IJTI, dan LBH Pers dalam pernyataan resminya menyebut tindakan itu sebagai bentuk terang-terangan pelecehan hukum dan pembungkaman kebebasan berekspresi. Sebuah indikasi mengerikan dari arah pemerintahan baru yang belum genap setahun berjalan.
Wilson Lalengke lebih jauh memperingatkan bahwa jika Presiden Prabowo tidak segera bertindak, masyarakat dengan sendirinya akan membuat penilaian: bahwa negara sedang kembali ke dalam terowongan gelap masa lalu. “Jika Presiden menolak memecat pejabat pelaku pelanggaran ini, berarti kita patut curiga bahwa pemerintahan ini sedang menjalankan taktik represif era Orde Baru. Hari ini kartu pers dicabut. Besok mungkin mikrofon disumpal. Lusa, ruang redaksi diserbu,” ujarnya.
Tak hanya serangan terhadap jurnalis, Lalengke menekankan bahwa tindakan BPMI adalah tamparan bagi rakyat luas. “Ini bukan semata-mata soal jurnalis CNN. Ini soal rakyat Indonesia yang diperdaya lewat pembungkaman sistematis. Membungkam wartawan sama saja dengan membungkam suara publik. Ini bukan republik jika kita tidak lagi bisa bertanya,” tegasnya lantang.
Konstitusi menjamin—dan negara seharusnya menghormati—hak setiap warga untuk mendapatkan informasi dan menyuarakan pertanyaan. Pasal 28F UUD 1945 tidak mengenal pengecualian untuk pertanyaan yang tidak menyenangkan. Dalam negara demokrasi, pertanyaan kritis bukan ancaman, melainkan kewajiban.
Kini bola panas ada di tangan Presiden Prabowo. Akankah ia berdiri di sisi kebebasan pers dan prinsip demokrasi yang ia sumpahi untuk bela, atau membiarkan insiden ini menjadi titik awal kemunduran sipil? Mata publik tak akan berpaling. Sejarah sedang merekam.