Jakarta – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar resmi menonaktifkan Adies Kadir dari keanggotaan DPR RI sekaligus jabatannya sebagai Wakil Ketua DPR. Keputusan ini berlaku mulai 1 September 2025, menyusul pernyataan Adies mengenai tunjangan anggota DPR yang memicu kemarahan publik.
Siaran pers resmi Partai Golkar, Minggu (31/8/2025), menyebutkan keputusan ini diambil setelah meninjau dinamika masyarakat belakangan ini. Surat penonaktifan ditandatangani oleh Ketua Umum Bahlil Lahadalia dan Sekretaris Jenderal Sarmuji. Menurut Sarmuji, langkah ini juga menjadi upaya memperkuat disiplin dan etika bagi anggota DPR dari Partai Golkar.
“DPP Partai Golkar menegaskan seluruh kiprah partai adalah kristalisasi semangat kerakyatan yang berlandaskan cita-cita nasional sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,” kata Sarmuji dalam siaran pers. Partai Golkar juga menyampaikan bela sungkawa atas wafatnya sejumlah warga negara Indonesia dalam berbagai peristiwa saat memperjuangkan aspirasi.
Kontroversi bermula ketika Adies menyebut tunjangan beras bagi anggota DPR naik dari Rp10 juta menjadi Rp12 juta per bulan, dan tunjangan bensin meningkat dari Rp3 juta menjadi Rp7 juta per bulan. Pernyataan ini memicu kritik keras dari publik, yang menilai angka tersebut terlalu tinggi di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
Keesokan harinya, Adies mengklarifikasi bahwa ia keliru menyampaikan data. Tunjangan beras sebenarnya hanya Rp200 ribu per bulan dan tidak berubah sejak 2010, sedangkan tunjangan bensin tetap Rp3 juta. Gaji pokok anggota DPR pun disebut sekitar Rp6,5 juta per bulan dan tidak naik dalam 15 tahun terakhir. Meski demikian, klarifikasi ini belum mampu meredakan sorotan tajam publik.
Sebelumnya, partai lain juga menonaktifkan anggota DPR yang memicu kontroversi terkait tunjangan. Partai NasDem mencabut keanggotaan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, sementara Partai Amanat Nasional (PAN) menonaktifkan Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio dan Surya Utama alias Uyauya.
Keputusan Golkar menonaktifkan Adies Kadir menegaskan bagaimana partai-partai politik merespons kritik publik, sekaligus menegaskan komitmen menjaga etika, integritas, dan aspirasi rakyat. (*)