KUTACANE | Pengelolaan dana publik kembali menjadi sorotan. Kali ini, badai kritik menerpa Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tenggara, yang diendus oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Tindak Pidana Korupsi (LSM Tipikor) tengah bermain api dengan dana negara. Dengan nilai fantastis mencapai lebih dari Rp30 miliar, dana yang semestinya diperuntukkan bagi pelayanan publik itu diduga tak sepenuhnya turun ke masyarakat. Ketua LSM Tipikor, Jupri Yadi R, tak mau tinggal diam. Ia mendesak Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Tenggara untuk bertindak cepat, tegas, dan terbuka dalam membongkar borok pengelolaan anggaran di balik meja dinas kesehatan.
Dalam pernyataannya yang menggelegar pada Rabu, 8 Oktober 2025, Jupri Yadi menegaskan bahwa pihaknya mencium adanya aroma tak sedap dari realisasi sejumlah dana besar di lingkungan Dinas Kesehatan. Ia mengungkapkan potensi penyimpangan dalam pengelolaan Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) sebesar Rp17.549.609.000, Dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Kapitasi senilai Rp12.000.000.000, dan Dana JKN Non Kapitasi sebesar Rp1.500.000.000 pada tahun anggaran 2024. Bukan angka kecil, dan bukan persoalan remeh.
Kecurigaan itu tak lahir dari ruang hampa. Menurut Jupri Yadi, Dinas Kesehatan seharusnya menjunjung tinggi prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam setiap sen yang dikelola. Namun ia menyesalkan, hingga hari ini, berbagai pertanyaan publik tak mendapat jawaban yang memuaskan. “Kami minta Kajari Aceh Tenggara segera memanggil dan memeriksa secara menyeluruh pengelolaan dana di Dinas Kesehatan. Kami menduga ada kejanggalan dalam realisasi anggaran tersebut,” ujarnya tajam, mengindikasikan ketidakberesan yang tak bisa lagi dibiarkan tumbuh meluas.
Sinyalemen serupa juga ia pertegas sebagai bentuk kepedulian terhadap pelayanan publik yang semakin dipertanyakan. Ditegaskannya bahwa dana sebesar itu bukan untuk memperkaya oknum atau mendanai kepentingan kelompok tertentu, melainkan untuk memastikan bahwa setiap persoalan kesehatan masyarakat bisa dijawab secara memadai. “Dana sebesar itu seharusnya benar-benar digunakan untuk peningkatan layanan kesehatan, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok,” katanya.
Jupri Yadi mengingatkan, ketika anggaran publik dikelola dengan arogan dan tanpa pengawasan, maka kerugian terbesar akan dirasakan oleh masyarakat kecil yang membutuhkan layanan dasar paling fundamental: kesehatan. Lantaran itu, LSM Tipikor menyerukan agar Kejaksaan tidak menutup mata. Lembaga penegak hukum, menurutnya, harus menunjukkan keberpihakan kepada rakyat dan menegaskan komitmennya dalam pemberantasan korupsi tanpa tebang pilih.
Ia juga menambahkan bahwa jika tidak segera dilakukan pemeriksaan, potensi hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi-institusi pemerintah dan hukum di daerah akan makin parah. Sementara itu, publik Aceh Tenggara patut menuntut transparansi cara dana miliaran rupiah itu dipergunakan. Tidak bisa terus-menerus dibungkus dengan laporan pertanggungjawaban yang manipulatif dan laporan kegiatan fiktif. “Hari ini, 8 Oktober 2025, kami nyatakan dengan tegas bahwa LSM Tipikor tidak akan mundur selangkah pun dalam mengawal kasus ini. Rakyat berhak tahu ke mana uang mereka sebenarnya pergi,” tegas Jupri, menekankan urgensi langkah hukum yang harus segera dilakukan.
Tak ada tempat bagi korupsi di sektor kesehatan. Ketika pelayanan terganggu karena dana dicuri atau dibelokkan, yang menjadi korban bukanlah pejabat atau birokrat, melainkan rakyat sipil yang mengandalkan pusat kesehatan sebagai jalan penyambung hidup. Bagi Jupri Yadi, ini bukan sekadar wacana pengawasan, tetapi panggilan moral dan keberanian publik untuk melawan kebusukan dalam sistem.
LSM Tipikor juga menyatakan tengah menyiapkan laporan resmi disertai bukti awal untuk diserahkan kepada Kejari Aceh Tenggara, termasuk di dalamnya dokumen-dokumen dugaan ketidaksesuaian realisasi anggaran dan indikasi mark-up dalam program kesehatan yang telah berjalan. Mereka siap membuka simpul demi simpul dugaan permainan anggaran sepanjang aparat penegak hukum memiliki keberanian yang sama: membela kebenaran meski berhadapan dengan kekuasaan.
Kejari Aceh Tenggara kini dihadapkan pada ujian penting. Apakah mereka akan merespons desakan ini dengan penyelidikan yang objektif dan tegas, atau justru abai dan membiarkan masyarakat kembali jadi korban kesewenangan birokrasi. Apakah hukum berlaku adil, atau sekadar tajam ke bawah dan tumpul ke atas, pertanyaan itu kini membekap ruang publik Aceh Tenggara dengan keresahan yang terus membuncah.
Skandal dana kesehatan bukan pertama kali terjadi, tapi kali ini publik menuntut akhir yang berbeda — tanpa kompromi, tanpa negosiasi gelap, tanpa tebang pilih.
Laporan : Salihan Beruh