Aceh Tenggara — Tudingan terhadap Kepala Sekolah SDN 4 Lawe Loning, Kecamatan Lawe Sigala-Gala Makmur, Kabupaten Aceh Tenggara, terkait dugaan penyalahgunaan Dana BOS dan pungutan liar kepada guru P3K, memunculkan gelombang reaksi dari berbagai kalangan. Ketua Dewan Pimpinan Pusat LSM Pemantau Pendidikan dan Kesehatan Masyarakat Aceh (PPKMA), M. Jenen, SE, akhirnya angkat bicara dan menyebut tudingan tersebut sebagai fitnah yang dapat menghancurkan masa depan generasi.
Dalam keterangannya kepada wartawan, M. Jenen menegaskan bahwa tuduhan yang beredar tidak didasarkan pada fakta objektif maupun hasil audit resmi. Ia menyebut pemberitaan yang berkembang lebih menyerupai spekulasi liar dan provokatif yang merugikan dunia pendidikan secara keseluruhan.
“Siapa pun yang menuding tanpa bukti sah berarti sedang merusak masa depan anak-anak kita. Fitnah dana BOS adalah serangan terhadap pendidikan bangsa,” ujarnya dengan tegas, Selasa (1/10/2025).
Ia menambahkan bahwa asas praduga tak bersalah sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman harus menjadi landasan dalam menyikapi setiap dugaan pelanggaran hukum, termasuk di dunia pendidikan. Menurutnya, mengadili seseorang tanpa bukti melalui opini publik merupakan bentuk pelanggaran serius atas hak asasi dan prinsip keadilan.
“Pers juga punya kewajiban moral dan hukum untuk menyampaikan berita yang berimbang. Hal itu diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, terutama di Pasal 5 ayat (1),” lanjut Jenen. Ia menyoroti bahwa jurnalisme tidak sepatutnya digunakan sebagai alat untuk mencemarkan nama baik lembaga pendidikan yang sedang berupaya membina generasi muda.
Lebih lanjut, M. Jenen menekankan bahwa Dana BOS tidak bisa dikelola secara sembarangan karena telah diatur secara rinci dalam Permendikbud Nomor 63 Tahun 2022 dan Permendikbud Nomor 8 Tahun 2020. Ia menjelaskan bahwa setiap transaksi wajib tercatat melalui aplikasi Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (ARKAS) yang terintegrasi langsung dengan sistem milik pemerintah pusat, termasuk Kementerian Pendidikan, Dinas Pendidikan daerah, hingga Inspektorat Jenderal.
“Kalau benar ada penyimpangan, tunjukkan audit resmi. Jangan hanya menyebar gosip yang belum terverifikasi. Kita tidak boleh membiarkan sekolah jadi sasaran empuk kepentingan pribadi atau kelompok,” katanya. Ia menegaskan bahwa praktik semacam ini mengganggu stabilitas pendidikan dan menjatuhkan psikologis guru serta siswa.
Terkait isu pungutan liar kepada guru P3K sebesar Rp 5 juta, M. Jenen menilai hal tersebut tidak masuk akal dan menyesatkan. Ia menyatakan bahwa rekrutmen guru P3K adalah kewenangan penuh pemerintah pusat, bukan kepala sekolah atau instansi pendidikan di daerah.
“Mengaitkan kepala sekolah dengan pungli P3K itu fitnah yang serius. Fitnah bisa dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, serta bisa dikenai UU ITE Pasal 27 ayat (3) karena menyangkut sebaran di media sosial,” jelasnya.
Sebaliknya, PPKMA justru mendesak agar Aparat Penegak Hukum (APH) memeriksa sumber penyebaran tudingan tersebut. Menurut M. Jenen, pemberitaan tanpa dasar bisa menghancurkan semangat belajar siswa, mencoreng reputasi institusi pendidikan, dan berdampak buruk terhadap kepercayaan masyarakat.
“Bila memang ada pelanggaran, tentunya harus ada proses hukum. Namun, bila terbukti ini hanya fitnah, maka pelaku penyebarnya harus diproses hukum. Dunia pendidikan jangan dijadikan pasar fitnah,” tegasnya.
Ia menutup pernyataan dengan menyerukan bahwa pendidikan bukan dan tidak boleh dijadikan sebagai alat politik. Marwah pendidikan, menurutnya, harus dijaga dari kepentingan sempit yang merusak kepercayaan publik.
“Kalau ada masalah, tempuh jalur resmi: audit, laporan ke inspektorat, atau proses hukum. Jangan pernah menjadikan isu pendidikan sebagai senjata fitnah. Pendidikan adalah investasi bagi kemajuan bangsa, siapa pun yang merusaknya berarti merusak masa depan generasi,” pungkasnya. (TIM)