JAKARTA — Polemik mengenai dugaan ijazah palsu milik mantan Presiden Joko Widodo kembali mencuat dan memantik perdebatan di ruang publik. Meskipun isu ini telah beberapa kali dibantah, narasi yang menuduh keabsahan ijazah sang mantan presiden terus bergulir dan mencuri perhatian warganet.
Menanggapi fenomena tersebut, politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Ade Armando, memaparkan sejumlah analisanya dalam program Bola Liar yang tayang di Kompas TV, Jumat (20/9/2025). Menurutnya, narasi ini perlu dilihat tidak sebagai isu tunggal, tetapi kemungkinan sebagai bagian dari manuver politik yang terorganisir.
“Saya mau bilang satu yang bisa disebut sebagai… yang banyak disebut sebagai kemungkinan di belakang ini semua, kalau betul ini semua adalah sesuatu yang saling berhubungan adalah, satu kemungkinan PDIP,” kata Ade.
Ia mengaitkan dugaan tersebut dengan ketegangan yang terjadi pasca pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi, sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2024 lalu. Menurut Ade, pencalonan Gibran kala itu tidak hanya menciptakan jarak antara Jokowi dan PDI Perjuangan, tetapi juga menyisakan ketegangan politik yang belum sepenuhnya usai.
Ade mengaku, ia melihat ada semacam “dendam politik” dari pihak-pihak yang merasa dikhianati atau tersisih pasca Pilpres lalu. Meski begitu, ia mengakui bahwa dugaan tentang keterlibatan PDIP tetap perlu diuji dengan fakta yang kuat.
Selain PDI Perjuangan, pengamat komunikasi itu juga menyinggung sejumlah kelompok lain yang menurutnya memiliki motif politik dalam menyuarakan isu ijazah palsu tersebut. Ia menyebut kelompok 212, yang memiliki kaitan erat dengan lingkungan politik Anies Baswedan, serta kelompok yang diasosiasikan dengan Roy Suryo.
“Yang kedua, kelompok yang disebut sebagai kelompok 212, terkait sama Anies Baswedan. Ketiga adalah kelompoknya Roy Suryo, yang orang menyebut bahwa jangan-jangan di sini adalah Partai Demokrat,” ucapnya.
Tak hanya menunjuk aktor domestik, Ade juga menyoroti kemungkinan adanya pengaruh eksternal dalam penyebaran isu yang dianggap sensasional ini. Ia mengangkat spekulasi bahwa kekuatan dari luar negeri turut memainkan peranan.
“Disebut pula ada yang mengatakan bahwa di belakang ini ada sebuah kekuatan besar, misalnya Amerika Serikat,” lanjutnya.
Ade juga merujuk pada kelompok aktivisme global yang kerap dikenal dengan istilah Social Justice Warriors (SJW), yang menurutnya sering menyuarakan isu-isu demokrasi dan keadilan sosial dari perspektif yang kritis terhadap kekuasaan.
“Ini teman-teman… Anda pernah dengar istilah SJW, Social Justice Warriors, ini lagi bergerak untuk menunjukkan bahwa kami peduli pada demokrasi,” ujarnya.
Namun meski menyebut berbagai kemungkinan, Ade menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada bukti kuat yang bisa membuktikan bahwa ijazah milik Presiden Joko Widodo adalah palsu. Ia menyatakan, bila ada yang ingin menuduh, termasuk tokoh seperti Roy Suryo, harus berani mengajukan argumen disertai bukti yang sahih.
“Kalau Roy Suryo ingin mengatakan bahwa ijazah Jokowi itu palsu, kasih kami argumen, ya, bukti yang bisa dipakai untuk mengatakan bahwa ijazah Pak Jokowi palsu. Wong ijazah Pak Jokowi itu enggak pernah dinaiki, tidak pernah dipertunjukkan kok,” tegasnya.
Isu ini sempat mencuat dalam berbagai momentum politik masa lalu, namun tidak pernah berlanjut hingga proses hukum. Salah satu gugatan terkait keabsahan ijazah Presiden Jokowi juga pernah diajukan ke pengadilan, namun ditolak. Meski demikian, narasi ini terus berulang dan digunakan dalam berbagai perdebatan politik, terutama di media sosial.