Pulo Gelima Tripe Jaya – Pemilihan Urang Tue (tokoh adat) di Desa Pulo Gelima Tripe Jaya, Kabupaten Gayo Lues, yang dilaksanakan pada Minggu (28/09/2025), kini menjadi sorotan publik setelah mencuat dugaan pelanggaran serius berupa manipulasi data identitas, penerbitan surat domisili palsu, serta praktik nepotisme. Warga menilai proses pemilihan telah cacat hukum dan sarat kepentingan pribadi, sehingga menuntut agar hasilnya dibatalkan dan para pihak yang terlibat diperiksa secara hukum, Rabu (08/10/2025).
Keributan di Balik Pemilihan
Pemilihan Urang Tue yang semestinya menjadi ajang penghormatan bagi tokoh adat setempat justru berubah menjadi polemik. Sumber di lapangan menyebutkan, ketegangan muncul setelah ditemukan perbedaan data kependudukan dari salah satu calon terpilih, Ali Yoga.
Masalah bermula dari ketidaksesuaian antara nama dalam Buku Nikah dengan KTP dan Kartu Keluarga (KK). Dalam dokumen kependudukan resmi, nama calon tercatat “Ali Yoga”, sementara dalam Buku Nikah tertulis “M. Ali”.
“Data Buku Nikah seharusnya menyesuaikan dengan KTP, bukan sebaliknya. Ini jelas menunjukkan dugaan manipulasi identitas,” ujar salah satu warga yang ikut mengawasi jalannya pemilihan.
Ketua Panitia Pemilihan, Hendri, dikabarkan sempat bersitegang dengan Pengulu (Kepala Desa) Pulo Gelima, Sarifuddin, terkait percepatan penetapan pemenang. Syarifuddin meminta waktu untuk mengubah data Ali Yoga ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Gayo Lues setelah penetapan pemenang Urang Tue guna melengkapi administrasi. Namun, langkah tersebut ditolak karena dinilai melanggar prosedur dan berpotensi menjadi masalah hukum di kemudian hari.
Hendri, sebagai ketua panitia pemilihan, juga menegaskan dirinya tidak ingin bermasalah dengan hukum di masa mendatang.

Manipulasi Identitas dan Surat Keterangan Bermasalah
Dugaan pelanggaran semakin menguat setelah diketahui adanya surat pertanggungjawaban perbedaan nama yang diterbitkan oleh Pengulu Pulo Gelima Tripe Jaya untuk meloloskan calon tertentu. Surat tersebut dinilai cacat administrasi karena bukan merupakan kewenangan kepala desa untuk menerbitkan klarifikasi identitas tanpa prosedur resmi dari instansi kependudukan.
Selain itu, keterlibatan Pengulu Desa Pulo Gelima, Syarifuddin, juga menjadi sorotan tajam. Ia diduga menerbitkan surat-surat keterangan yang tidak sesuai peruntukannya dan mengandung unsur kebohongan administratif.
Menurut informasi yang dihimpun, Pengulu Syarifuddin diduga menerbitkan dua surat domisili palsu atas nama Ali Yoga, yakni:
-
Nomor surat: 30/SKD/PGL/TJ/GL/2025, tertanggal 5 Oktober 2025, berisi keterangan bahwa Ali Yoga telah tinggal dan menetap di Desa Pulo Gelima.
-
Nomor surat: 40/SKD/PGL/TJ/GL/2025, tertanggal 6 Oktober 2025, menyatakan bahwa Ali Yoga telah tinggal dan menetap di Desa Pulo Gelima selama lima tahun berturut-turut dan tidak pernah terputus.
Padahal, berdasarkan keterangan sejumlah warga, Ali Yoga baru menetap di desa tersebut sekitar satu tahun terakhir. Lebih mengejutkan lagi, nama yang bersangkutan masih tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Desa Bukut, Kecamatan Terangun, sebagai pemilih dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati.
“Jadi ini jelas ada kejanggalan. Orang yang baru setahun tinggal di sini bisa tiba-tiba punya surat domisili lima tahun berturut-turut. Ini bukan lagi kesalahan administratif, tapi indikasi pemalsuan dokumen yang dilakukan secara sadar,” ujar salah satu warga yang turut melaporkan kasus ini.
Warga menduga, penerbitan surat domisili palsu itu dilakukan demi memuluskan pencalonan Ali Yoga sebagai Urang Tue. Dengan begitu, Pengulu dianggap terlibat langsung dalam dugaan pemalsuan dokumen resmi, termasuk identitas KTP dan Kartu Keluarga.

Konflik Kepentingan dan Unsur Nepotisme
Kecurigaan masyarakat kian menguat setelah diketahui bahwa salah satu anggota panitia pemilihan merupakan anak kandung dari calon yang bermasalah tersebut. Fakta ini dinilai memperkuat dugaan adanya konflik kepentingan dan praktik nepotisme yang mencederai netralitas panitia.
“Tidak etis seorang anak duduk sebagai panitia sementara ayahnya menjadi peserta pemilihan. Ini sudah bentuk keberpihakan yang jelas,” kata salah satu tokoh adat yang kini ikut menandatangani petisi protes masyarakat.
Dalam pemilihan itu, empat calon yang diumumkan sebagai pemenang adalah Ali Yoga, Rahim, Teubeut, dan Tamrin. Namun warga menolak hasil tersebut karena dianggap cacat hukum dan menuntut agar hasil pemilihan dibatalkan sebelum diterbitkannya Surat Keputusan (SK) Bupati.

Desakan Warga: Batalkan Hasil dan Copot Pengulu
Warga menuntut dua hal utama. Pertama, pembatalan hasil pemilihan Urang Tue karena dianggap cacat administrasi akibat manipulasi data dan dokumen. Kedua, pencopotan Pengulu Pulo Gelima Tripe Jaya karena diduga melampaui kewenangan dan terlibat aktif dalam penerbitan surat keterangan yang memuluskan pencalonan Ali Yoga.
“Ini sudah bukan persoalan kecil. Kami punya bukti fotokopi KTP, KK, Buku Nikah, dan surat keterangan domisili yang dibuat dua kali. Semuanya akan kami serahkan ke aparat hukum,” ujar perwakilan masyarakat saat ditemui di lokasi.

Arah Kasus Menuju Ranah Pidana
Berdasarkan temuan dan bukti awal, kasus ini tidak lagi sekadar pelanggaran administratif. Masyarakat menilai telah terjadi dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen resmi, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Jika terbukti ada unsur kesengajaan dalam manipulasi dokumen domisili dan identitas kependudukan, maka ini sudah termasuk tindak pidana. Kami akan melaporkan ke aparat hukum,” tegas warga lainnya.

Menanti Respons Pemerintah Daerah
Hingga berita ini dirilis, belum ada tanggapan resmi dari pihak Pengulu maupun Ketua Panitia Pemilihan. Sementara dari pihak Tapem Pemerintah Kabupaten Gayo Lues juga belum memberikan pernyataan mengenai dugaan pelanggaran dalam pemilihan Urang Tue tersebut.
Publik kini menantikan langkah tegas pemerintah daerah dan aparat penegak hukum dalam menelusuri dugaan pelanggaran ini untuk memastikan integritas adat dan hukum tetap terjaga di tingkat desa.



🟫 Editorial Penutup: Integritas Adat di Persimpangan
Kasus yang mencuat di Desa Pulo Gelima Tripe Jaya, Kabupaten Gayo Lues, mencerminkan bagaimana nilai-nilai adat dan kejujuran mulai tergerus oleh kepentingan pribadi. Jabatan Urang Tue seharusnya menjadi simbol kebijaksanaan, moral, dan keteladanan. Namun ketika prosesnya diwarnai oleh dugaan pemalsuan identitas, surat domisili palsu, serta nepotisme, maka makna jabatan itu kehilangan kehormatan yang seharusnya dijaga.
Masyarakat adat Gayo Lues dikenal menjunjung tinggi prinsip kejujuran dan keadilan. Karena itu, pengungkapan kasus ini bukan hanya soal hukum, tetapi tentang pemulihan marwah adat dan moral publik.
Pemerintah daerah dan lembaga adat kini dituntut untuk bertindak tegas. Integritas adat tidak boleh dikorbankan demi kepentingan pribadi atau kelompok. Sebab, ketika kejujuran di tingkat desa runtuh, maka sendi moral masyarakat pun ikut rapuh. (REL)