Kutacane | Delapan hari penuh teror dan duka menyelimuti Desa Uning Sigugur, Kecamatan Babul Rahmah, Kabupaten Aceh Tenggara. Suasana desa yang biasanya damai berubah mencekam setelah tragedi berdarah terjadi pada Senin pagi, 16 Juni 2025. Seorang pria berinisial A.S., warga Desa Pegunungan Kompas, mengayunkan parang dan menghabisi lima nyawa dari keluarganya sendiri. Satu korban lainnya terluka parah dan kini masih menjalani perawatan intensif.
Aksi brutal tersebut menyisakan luka mendalam di tengah masyarakat. Namun penderitaan itu belum berakhir. Pelaku menghilang ke dalam rimba, menyisakan ketakutan akan kemungkinan kembalinya teror. Baru pada hari kedelapan, A.S. ditangkap oleh tim gabungan dari Polda Aceh, Polres Aceh Tenggara, dan Polsek Babul Rahmah. Penangkapan dilakukan di Desa Kute Meujile, Kecamatan Tanoh Alas, tanpa perlawanan, tepat pukul 20.40 WIB, Senin malam (24/6/2025).
Konferensi Pers: Fakta Dibuka ke Publik
Kepolisian Resor Aceh Tenggara menggelar konferensi pers besar-besaran, Selasa (24/6/2025), di Aula Mapolres. Kapolres AKBP Yulhendri, S.I.K., didampingi Bupati Aceh Tenggara H. M. Salim Fakhri, S.E., M.M., Dandim 0108/Agara, perwakilan Kejaksaan Negeri, dan sejumlah pejabat utama Polres membeberkan seluruh rangkaian peristiwa yang mengguncang ini.
“Ini tragedi kemanusiaan yang sangat memprihatinkan. Kami tidak hanya fokus pada penangkapan, tapi juga pada pemulihan rasa aman dan keadilan bagi keluarga korban serta masyarakat luas,” tegas Kapolres Yulhendri.
Delapan Hari di Hutan: Pelarian yang Nyaris Mustahil
Detail pelarian A.S. membuat bulu kuduk merinding. Ia menghilang ke wilayah hutan lindung yang terkenal angker dan sulit dijangkau. Selama delapan hari, ia melintasi kawasan Rambung Tubung, Tui Jongkat, hingga Pegunungan Salim Pinim. Ia tidur di pondok-pondok kebun, makan dengan bahan seadanya, dan bertahan hidup seperti binatang buruan.
-
Hari Pertama: Melarikan diri ke kebun jagung, menyeberangi Desa Meranti, bermalam di pondok sawit.
-
Hari Kedua hingga Keempat: Menyusuri kebun coklat dan naik ke pegunungan Tui Jongkat.
-
Hari Kelima hingga Ketujuh: Masuk ke Pegunungan Titi Mas dan Jamur Damar.
-
Hari Kedelapan: Turun ke Desa Kute Meujile, membeli makanan, dan menuju rumah pamannya sebelum akhirnya ditangkap.
Jejak pelariannya menunjukkan bahwa pelaku sangat mengenal medan dan berusaha keras untuk menghindari kejaran aparat. Namun, upaya itu sia-sia.
Barang Bukti: Kisah di Balik Benda-Benda Sunyi
Tak hanya pelaku, polisi juga mengamankan sejumlah barang bukti yang membeberkan sisi kelam pelariannya. Dari parang pembantaian, panci kecil, hingga sajadah merah yang menimbulkan pertanyaan: apakah pelaku sempat berdoa di antara kejahatannya?
Barang-barang bukti yang diamankan:
-
1 bilah parang berlumur darah
-
2 HP (VIVO Y15S & Samsung lipat)
-
1 sajadah merah
-
1 ketapel kayu rakitan
-
1 botol minyak tanah, panci kecil, batu asah
-
1 tas ransel dari goni & karet ban
-
2 bungkus garam kecil, botol air putih
-
dan benda-benda lain yang mencerminkan upaya bertahan hidup ala gerilyawan.
Barang-barang ini kini diamankan di Mapolres sebagai bukti kuat untuk menguatkan dakwaan terhadap A.S.
Motif Masih Diperiksa, Tapi Hukum Tak Akan Lunak
Kapolres menyebut bahwa pelaku dan korban memiliki hubungan darah dekat. Sebagian korban merupakan keponakan dan adik kandung dari ibu pelaku. Dugaan sementara menunjukkan adanya tekanan psikologis atau konflik internal, namun motif pastinya masih didalami.
A.S. dijerat Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dan/atau Pasal 80 Ayat (3) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
“Ancaman hukuman mati, penjara seumur hidup, atau minimal 15 tahun. Kami akan menindak tegas dan tanpa kompromi,” ujar Kapolres Yulhendri.
Duka, Marah, dan Harapan untuk Keadilan
Bupati Aceh Tenggara yang turut hadir dalam konferensi menyampaikan duka mendalam atas tragedi ini. Ia berharap agar proses hukum berjalan tanpa celah, dan menjadi pelajaran penting bagi seluruh masyarakat.
“Tragedi ini sangat melukai hati kita semua. Pemerintah daerah mendukung penuh aparat penegak hukum dan memastikan keluarga korban mendapatkan pendampingan,” kata Bupati Salim Fakhri.
Penutup: Luka Mendalam di Tanah Lauser
Kasus ini bukan sekadar kriminal biasa. Ini luka dalam pada kemanusiaan. Desa yang selama ini tenang mendadak berubah menjadi saksi tragedi kekerasan paling mengerikan dalam sejarah lokal. Kini, masyarakat berharap, keadilan ditegakkan. Dan bahwa tak ada lagi parang yang mengoyak nyawa dari tangan orang serumah.
Laporan: Salihan Beruh
Editor: Redaksi Bara News