Gayo Lues, 18Juni 2025 — Di balik gemuruh alat berat dan jargon investasi, luka menganga di lereng Tangsaran, Kecamatan Pantan Cuaca, Kabupaten Gayo Lues, terus melebar. Aktivitas eksplorasi emas oleh PT Gayo Mineral Resource (PT GMR) yang berlangsung di kawasan hutan lindung bukan hanya mengguncang ketenangan ekologis, tetapi juga menyulut kemarahan warga dan aktivis lingkungan. Di tengah kabut tebal legalitas yang diklaim perusahaan, kerusakan di lapangan menjadi bukti bisu dari dugaan pelanggaran hukum yang semakin terang.
Sekretaris Lembaga Leuser Aceh (LLA), Abdiansyah, menyebutkan bahwa apa yang dilakukan PT GMR bukan sekadar eksplorasi, melainkan eksploitasi terang-terangan terhadap hutan lindung yang seharusnya menjadi warisan ekologis bagi generasi masa depan. “Kita bicara tentang kawasan yang menjadi penyangga sistem air, tempat hidup satwa endemik, dan benteng terakhir terhadap bencana. Tapi sekarang, semua itu dihantam dengan ekskavator,” ujarnya saat ditemui di Blangkejeren.
Abdiansyah menegaskan bahwa legalitas seperti Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) tidak bisa dijadikan tameng untuk pembenaran kerusakan. “Legal bukan berarti bebas merusak. Legalitas itu harus tunduk pada prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan. Kalau hutan lindung dibabat habis dengan dalih izin, itu penghinaan terhadap logika hukum dan moralitas publik,” tegasnya.
Temuan tim investigasi LLA menunjukkan bukti lapangan yang mencemaskan. Jalan-jalan baru dibuka tanpa kendali, pohon-pohon besar ditebang tanpa upaya rehabilitasi, jalur mata air terganggu, dan kebisingan mesin berat mengusir satwa liar dari habitatnya. Lereng Tangsaran, yang selama ini menjadi zona tenang dalam peta ekologis Aceh, kini berubah menjadi kawasan kritis dengan ancaman bencana yang mengintai.
Secara hukum, aktivitas PT GMR patut diduga melanggar beberapa regulasi penting. Di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang melarang segala aktivitas yang menyebabkan kerusakan hutan tanpa izin yang sah dan prinsip kehati-hatian. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengharuskan adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang komprehensif dan partisipatif — dokumen yang hingga kini belum dipublikasikan ke publik. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 menyatakan bahwa perubahan fungsi kawasan hutan harus melalui kajian mendalam, baik dari sisi ekologis, sosial, maupun ekonomi. Fakta bahwa PT GMR beroperasi tanpa transparansi terhadap kajian tersebut menunjukkan pelanggaran prosedur. Bahkan Permen LHK No. P.27/MENLHK/2018 secara tegas menyebut bahwa penggunaan kawasan hutan melalui PPKH tidak boleh menimbulkan kerusakan permanen.
Yang tak kalah penting, adalah ketimpangan perlakuan hukum yang mencolok. “Masyarakat yang membakar dua hektare untuk tanam jagung bisa dipenjara. Tapi perusahaan bisa mengobrak-abrik kawasan ratusan hektare dengan ekskavator dan tidak satu pun pejabat bicara. Ini bukan sekadar hukum yang pincang, tapi bukti bahwa negara tunduk pada kekuasaan modal,” kata Abdiansyah.
Ia juga menyoroti aspek risiko bencana. Lereng Tangsaran dikenal sebagai kawasan rawan longsor. Setiap aktivitas besar tanpa mitigasi berpotensi menimbulkan bencana ekologis yang akan menelan korban jiwa. “Kalau terjadi banjir bandang atau longsor, siapa yang akan bertanggung jawab? Pemerintah daerah diam, pemerintah pusat sibuk bicara investasi. Tapi rakyat di bawah yang jadi korban,” ujarnya.
LLA mendesak agar Presiden RI, Menteri LHK, dan Gubernur Aceh segera turun tangan. Mereka menuntut penghentian seluruh aktivitas PT GMR sampai dilakukan audit lingkungan yang independen dan transparan. Selain itu, LLA juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelidiki kemungkinan kolusi dalam proses pemberian izin PPKH kepada PT GMR, mengingat prosedur yang dilalui sangat tertutup dan minim partisipasi publik.
“Kalau ini dibiarkan, jangan salahkan siapa-siapa ketika krisis lingkungan datang menelan desa-desa. Hutan lindung bukan tanah kosong. Ia menyimpan air, udara, dan masa depan. Rusak sekali, hancur selamanya,” tegas Abdiansyah.
Hingga berita ini diturunkan, tidak ada pernyataan resmi dari pihak PT GMR maupun respons dari Pemerintah Kabupaten Gayo Lues. Sementara itu, keresahan di masyarakat terus meningkat. Para petani, tokoh adat, hingga pelajar mulai menyuarakan kekhawatiran yang sama: jika hutan rusak, lalu apa yang tersisa dari Gayo Lues? (TIM)