Subulussalam, Aceh – Suasana memanas di Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam, Aceh. Pada Selasa (28/05), ratusan masyarakat tani dan masyarakat adat dari Kemukiman Penanggalan berkumpul dan menyuarakan protes keras terhadap PT Laot Bangko. Proyek pembangunan “Paret Gajah” oleh perusahaan perkebunan tersebut dituding menjadi biang kerok rusaknya lahan, terputusnya akses jalan masyarakat, dan memicu konflik lahan yang kian membara.
Kemarahan warga bukan hanya soal kerusakan yang ditimbulkan akibat penggalian paret, tetapi juga munculnya dugaan pemindahan tapal batas sepihak oleh perusahaan. Warga menuding PT Laot Bangko telah melewati batas resmi yang ditetapkan pemerintah bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN), yaitu Patok 90, 94, dan Patok A. Bagi masyarakat adat, tapal batas ini bukan sekadar tanda, melainkan simbol pengakuan atas tanah warisan leluhur yang telah mereka jaga dan kelola turun-temurun.
Aksi protes ini mengalir deras, dipicu oleh dampak nyata di lapangan. Lahan-lahan pertanian warga rusak, tanaman produktif hancur, dan akses jalan yang sebelumnya menjadi nadi penghubung warga ke kebun dan kampung terputus akibat penggalian paret. Ketidakjelasan informasi dan dugaan perluasan konsesi secara sepihak oleh perusahaan semakin memperkeruh suasana.
Menanggapi situasi ini, masyarakat Penanggalan menggelar musyawarah terbuka lintas kampong. Forum ini menjadi ruang bagi tokoh-tokoh masyarakat, pemuka adat, dan perwakilan pemuda untuk bersatu menyuarakan keresahan mereka.
Denni Bancil, tokoh masyarakat yang dikenal vokal di Penanggalan, menegaskan sikap masyarakat. Ia menekankan bahwa perjuangan ini bukan hanya tentang lahan, tetapi tentang mempertahankan harga diri dan hak-hak masyarakat adat yang selama ini terpinggirkan.
“Kami tidak akan tinggal diam. Ini bukan hanya tentang tanah, ini tentang harga diri, tentang hak anak cucu kami untuk hidup di tanah warisan leluhur mereka. Hak-hak masyarakat adat harus dipulihkan,” tegas Denni dengan nada penuh semangat.
Rinto Berutu, perwakilan pemuda Penanggalan, turut menyampaikan dukungannya. Menurutnya, perjuangan ini adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang selama ini dirasakan oleh masyarakat.
“Kami berdiri bersama orang tua kami, bersama para tetua adat, untuk memperjuangkan hak kami. Ini bukan hanya konflik lahan, ini adalah perjuangan melawan ketidakadilan. Kami tidak mau tanah kami diambil begitu saja tanpa persetujuan, tanpa musyawarah,” ujarnya.
Dari musyawarah tersebut, masyarakat menyusun tujuh tuntutan tegas kepada PT Laot Bangko dan pemerintah. Mereka mendesak agar perusahaan segera menghentikan proyek penggalian paret yang memicu konflik ini, mengganti tanaman yang rusak dan memulihkan akses jalan masyarakat yang terdampak, serta mendesak pemerintah bersama Mukim segera menerbitkan sertifikat tanah adat Kemukiman Penanggalan sebagai bentuk perlindungan hukum atas hak masyarakat.
Selain itu, masyarakat juga meminta agar dilakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk membahas secara terbuka dugaan skandal Hak Guna Usaha (HGU) PT Laot Bangko yang dinilai sarat masalah dan merampas hak masyarakat. Mereka juga mendesak pengembalian hak Koperasi Pekebun (Koperbun) yang selama ini terabaikan, transparansi penuh terkait program Corporate Social Responsibility (CSR) dan pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) dari plasma PT Laot Bangko, serta pengembalian seluruh areal transmigrasi yang masuk dalam wilayah perusahaan.
Di tengah gelombang tuntutan ini, isu mengenai “Plasma Siluman” dan “CSR Siluman” mencuat ke permukaan. Warga menduga adanya praktik-praktik tidak transparan dalam pengelolaan lahan plasma dan program CSR. Selama ini, masyarakat jarang menerima informasi jelas terkait hasil usaha dari plasma atau laporan penggunaan dana CSR yang seharusnya menjadi hak mereka.
“Plasma itu katanya ada, tapi mana buktinya? CSR katanya ada, tapi ke mana dana itu disalurkan? Ini harus dibuka terang-terangan, jangan ada yang ditutup-tutupi,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Masyarakat Penanggalan kini berdiri dalam satu suara, bertekad untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang selama ini terabaikan. Bagi mereka, tanah bukan sekadar hamparan lahan, melainkan sumber penghidupan, warisan leluhur, dan simbol kehormatan yang harus dijaga.
Konflik ini menjadi potret buram persoalan agraria di Indonesia, di mana masyarakat adat kerap kali menjadi korban ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya alam. Perjuangan masyarakat Penanggalan juga menjadi pengingat bagi pemerintah bahwa penyelesaian sengketa lahan harus dilakukan dengan adil, transparan, dan berpihak pada masyarakat kecil, bukan hanya pada kepentingan korporasi besar.
Hingga berita ini ditulis, masyarakat Penanggalan menunggu sikap tegas dari pemerintah dan pihak PT Laot Bangko. Namun satu hal yang pasti, mereka telah bulat tekad untuk terus memperjuangkan tanah adat mereka sampai hak-hak mereka benar-benar dikembalikan.
(Anton Tin / Subulussalam)